10 Kaidah dalam Menyucikan Jiwa (Bag. 1) : Tentang Jiwa Manusia
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Ta’ala, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi yang paling mulia, penutup para rasul, teladan dan penyejuk mata kita, yaitu Nabi Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan sahabat beliau seluruhnya, serta semua orang yang berjalan di atas petunjuk beliau sampai hari kiamat nanti.
Jiwa manusia yang memiliki dua sisi (yaitu baik dan buruk, pent.), sangatlah penting dan urgen untuk diperhatikan. Allah Ta’ala telah bersumpah dengan sejumlah makhluk-Nya yang agung, yang menunjukkan keagungan-Nya dalam surat Asy-Syams, bahwasanya di sana ada jiwa yang beruntung dan ada jiwa yang tidak beruntung,
وَالشَّمْسِ وَضُحاها (1) وَالْقَمَرِ إِذا تَلاها (2) وَالنَّهارِ إِذا جَلاَّها (3) وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها (4) وَالسَّماءِ وَما بَناها (5) وَالْأَرْضِ وَما طَحاها (6) وَنَفْسٍ وَما سَوَّاها (7) فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَتَقْواها (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها (9) وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها (10)
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 1-10)
Baca Juga: Inilah Obat Penenang Jiwa
Allah Ta’ala berfirman sebagaimana ayat di atas,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.”
Makna asal kata “az-zakaat” adalah bertambahnya kebaikan, sehingga yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bahwa siapa saja yang berusaha untuk menyucikan, memperbaiki, dan mengisi jiwa dengan memperbanyak amalan ketaatan dan kebaikan, serta menjauhi segala keburukan, maka pastilah dia akan beruntung.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
“Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Makna asal kata “tadsiyyah” adalah menutupi. Orang yang bermaksiat, artinya dia telah menutupi jiwanya yang mulia dengan melakukan berbagai macam dosa, menguburnya dengan berbagai hal yang rendah dan hina, menghancurkan dan merusaknya dengan melakukan berbagai hal yang tercela, sehingga jiwanya pun menjadi jiwa yang rendah dan hina. Sehingga dengan hal itu, jiwa tersebut berhak mendapatkan kesengsaraan dan kerugian (di akhirat). Wal ‘iyaadhu billah.
Baca Juga: Untukmu yang Berjiwa Hanif (01)
“Jiwa yang mulia, tidaklah ridha terhadap sesuatu, kecuali terhadap sesuatu yang paling tinggi, paling mulia dan paling terpuji (paling baik) hasil akhirnya. Adapun jiwa yang rendah, dia hanya berputar di sekeliling perkara yang hina, dia menghampiri perkara hina itu sebagaimana lalat menghinggapi kotoran. Jiwa yang mulia dan tinggi, tidak akan ridha terhadap tindak kedzaliman, hal yang vulgar, pencurian, dan pengkhianatan, karena jiwanya lebih besar dan lebih mulia dari itu semua. Sedangkan jiwa yang hina dan rendah, berkebalikan dengan hal itu. Maka setiap jiwa akan cenderung kepada sesuatu yang selaras dan sesuai dengannya.” (Al-Fawaaid karya Ibnul Qayyim, hal. 178)
Oleh karena pentingnya penyucian jiwa tersebut, maka setiap muslim yang ingin memperbaiki diri wajib memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, memaksa jiwanya untuk mewujudkan tujuan yang terpuji ini dalam kehidupannya, sehingga dia beruntung di dunia dan akhirat, serta menikmati kebahagiaan yang hakiki.
Sesungguhnya, jiwa seorang muslim memiliki hak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وإن لنفسك عليك حقا
“Sesungguhnya jiwamu memiliki hak atas dirimu.”
Sungguh keliru orang yang menyangka bahwa hak jiwa tersebut adalah dengan bersikap keras kepadanya dan menghalanginya dari fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana juga keliru orang yang menyangka bahwa hak jiwa tersebut adalah dengan meremehkan dan abai memperbaiki, serta membiarkannya tenggelam dalam syahwat.
Baca Juga:
Sangatlah jauh dari kebenaran, penyucian jiwa bukanlah semacam itu. Bahkan, penyucian jiwa itu adalah dengan menempuh jalan-jalan syariat, dengan sikap pertengahan, tanpa disertai sikap berlebih-lebihan (ifraath) dan sikap meremehkan (tafriith). Akan tetapi, penyucian jiwa itu adalah dengan berpegang teguh dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalannya yang lurus.
Penulis (Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah) akan menyebutkan sepuluh kaidah penting dalam kitab yang ringkas ini, yang akan membantu seorang muslim dalam menyucikan, memperbaiki dan membersihkan jiwa dari segala hal yang akan mengotorinya.
Penulis memohon kepada Allah Ta’ala untuk menyucikan jiwa kami, memperbaiki amal kami, meluruskan ucapan kami, menunjukkan kebenaran kepada kami, dan memberikan taufik untuk mengikutinya, menjauhkan dari fitnah, baik yang tampak atau yang tersembunyi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga dan para sahabatnya, aamiin.
Baca Juga:
[Bersambung]
***
@Rumah Lendah, 12 Shafar 1440/ 21 Oktober 2018
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab ‘Asyru qawaaida fi tazkiyatin nafsi, hal. 5-8, karya Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala.
🔍 Buletin Islam, Hadist Makan, Daftar Ustadz Sunnah, Doa Ketika Berjabat Tangan, Pengertian Suudzon
Artikel asli: https://muslim.or.id/44085-10-kaidah-dalam-menyucikan-jiwa-bag-1.html